Old school Easter eggs.
ASSUNNAH

Pusat artikel islami

Top Baru Cari
Hukum perlunya nadzhor Sebelum Menikah
Seorang pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, bolehkah dia memandang wanita tersebut, bagaimana batasannya, dan kapan diperbolehkan?
Haramnya seorang lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya termasuk dalam kategori tahrimul wasilah. Artinya, diharamkan karena merupakan wasilah (perantara) yang akan menyeret kepada perkara inti yang memang haram pada asalnya.
Sehingga seluruh wasilah dan dzari’ah (jalan) menuju perkara tersebut ditutup oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan cara diharamkan. Kaidah ini dikenal di kalangan ulama dengan istilah saddudz-dzari’ah (menutup jalan/wasilah). Sesuatu yang pengharamannya termasuk dalam bab ini, bisa dibolehkan ketika ada hajat (tuntutan) kebutuhan meskipun bukan darurat. Ini adalah ushul (prinsip hukum) yang dipegang oleh Al-Imam Ahmad, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (23/186-187, 214-215).
Berdasarkan hal ini, tatkala seorang lelaki berhajat untuk memperistri seorang wanita dan sebaliknya, maka hajat tersebut menuntut untuk saling mengenal terlebih dahulu. Sehingga keduanya menikah tidak secara membabi buta, yang mengandung resiko timbulnya penyesalan di kemudian hari dan berakibat tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga mereka berdua. Syariat yang penuh hikmah dan bijaksana ini menginginkan terciptanya rumah tangga yang harmonis, yang terbina di atas cinta dan kasih sayang, agar pasangan suami istri hidup tenang dan bahagia. Dengan demikian keduanya akan memiliki ‘iffah (mampu menjaga diri dari perzinaan dan perkara-perkara yang menyeret kepada perbuatan zina) serta mampu ber-ta’awun (bekerja sama dan saling membantu) dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjagadiri dari maksiat. Demikian pula berbagai maslahat lainnya yang merupakan tujuan disyariatkannya pernikahan. Wallahu ‘alimun hakim (Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana).

Dalam rangka memenuhi tuntutan hajat ini, maka seorang lelaki yang hendak menikahi seorang wanita diizinkan untuk melakukan nazhar (melihat dan mengamati dengan seksama) wanita yang hendak dilamarnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ‎ “Apabila salah seorang kalian melamar seorang wanita, hendaklah dia memandang bagian tubuhnya yang akan menjadikannya tertarik untuk menikahinya, jika dia mampu melakukannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 99 dan Al-Irwa` no. 1791), Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yang mengisahkan seorang lelaki yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bertanya:أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا ‎“Apakah engkau telah melihatnya?” Lelaki itu menjawab: “Belum.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihatnya terlebih dahulu karena pada matawanita-wanita Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa`i), Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum nazhar. Sebagian mereka mengatakan hukumnya mubah (boleh), dan sebagian yang lain mengatakan sunnah mustahab.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/125-126, cetakan Darul Atsar): “Yang benar dalam masalah ini hukumnya sunnah (karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya). Jika seseorang telah mengenalnya tanpa melakukan nazhar maka tidak ada hajat baginya untuk melakukan nazhar. Seperti halnya bila dia mengutus seorang wanita yang benar-benar dia percayai untuk mengenali wanita yang hendak dipinangnya (dan dia bersandar dengan berita dari wanita itu).
Meskipun demikian, pada hakekatnya nazhar orang lain tidak cukup mewakili nazhar yang dilakukan sendiri. Karena boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain, namun belum tentu cantik di mata sendiri.
Boleh jadi wanita itu di nadzhor dalam keadaan gembira dan riang, yang tentu saja berbeda jika di nazhar dalam keadaan sedih. Juga, terkadang wanita yang dinazhar berusaha untuk tampil cantik dengan berdandan menggunakan make up, sehingga disangka cantik padahal tidak demikian hakikatnya.”

Perlu diketahui bahwa nazhar yang syar’i memiliki beberapa persyaratan:
1. Nazhar hanya terbatas pada bagian tubuh tertentu. Batasan ini diperselisihkan para ulama. Dalam hal ini, Al-Imam Ahmad memiliki tiga riwayat (pendapat). Riwayat pertama sama dengan pendapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa yang boleh dilihat adalah sebatas wajah dan telapak tangan. Riwayat kedua, beliau berpendapat bahwa boleh untuk melihat bagian tubuhnya yang biasa nampak dan terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah saat bersama mahramnya, sepertiwajah, kepala, leher, lengan, dan betis.Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menerangkan riwayat ini: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan untuk nazhar secara mutlak, baik dengan seizin dan sepengetahuan si wanita yang bersangkutan ataupun tidak, berarti beliau mengizinkan untuk melihat apa yang biasa terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah bersama mahramnya. Karena ketika melakukan nazhar secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan si wanita, maka tidak mungkin membatasi diri hanya melihat wajah saja. Bahkan bagian-bagian tubuh lainnya yang biasa nampak tentu akan terlihat pula.”Riwayat ketiga sama dengan pendapat Azh-Zhahiriyah, yakni boleh melihat seluruh bagian tubuh tanpa kecuali. (Lihat Al-Mughni, 6/387-388, Tahdzib Sunan Abi Dawud hadits no. 2068, dan Nailul Authar, 6/111).
Dan yang rajih adalah riwayat/pendapat kedua dari Al-Imam Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah (2/154): “Jika hadits Jabir radhiyallahu 'anhu tidak menunjukkan apa yang dikatakan Ibnu Hazm (yakni pendapat Azh-Zhahiriyyah) maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut menunjukkan makna lebih dari batasan yang disebutkan oleh jumhur. Wallahu a’lam. ”Asy-Syaikh Al-Albani juga berkata dalam Ash-Shahihah (1/157): “Riwayat yang kedua dari Al-Imam Ahmad lebih dekat kepada dzahir 2 hadits dan praktik para shahabat. Wallahu a’lam. ”Pendapat ini juga dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/126). Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika dia belum melihat sesuatu yang menjadikan dia tertarik pada nazhar yang pertama, boleh baginya untuk mengulangi nazhar untuk yang kedua atau ketiga kalinya.”Hal ini karena Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam mengizinkan secara mutlak tanpa membatasi satu kali saja.
2. Nazhar dilakukan tanpa khalwat (berduaan). Karena tidak ada tuntutan hajat dan maslahat untuk ber-khalwat. Bahkan bisa menjatuhkan keduanya dalam perkara-perkara yang melanggar syariat, sehingga hal ini tetap haram hukumnya. Jadi, nazhar dilakukan dengan cara ditemani oleh wali atau mahram si wanita.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:“Jika tidak mungkin (nazhar ditemani walinya) maka boleh bagi si lelaki untuk bersembunyi di tempat yang akan dilewati wanita tersebut dan mengamatinya secara diam-diam.”
3. Nazhar dilakukan tanpa disertai syahwat. Karena wanita tersebut belum menjadi istrinya, sehingga tidak dibenarkan dia bersenang-senang dengan memandanginya disertai syahwat.
4. Nazhar dilakukan apabila si lelaki telah bertekad untuk melamar si wantia. Jika sekedar coba-coba, atau barangkali dan barangkali, maka tidak dibenarkan. Karena pada asalnya, nazhar hukumnya haram. Hanya saja diizinkan ketika ada kebutuhan dan maslahat pernikahan. Sehingga nazhar tidak boleh melampaui apa yang diizinkan syariat.
5. Nazhar dilakukan apabila ada ghalabatuzh zhann (persangkaan kuat) bahwa lamarannya akan diterima.
-- Wallahu a'lamu --
Posted by: Admin
Sumber rujukan: Ashshahihah, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah (2/154), Al-Mughni, 6/387-388, Tahdzib Sunan Abi Dawud hadits no. 2068, dan Nailul Authar, 6/111, Asy-Syarhul Mumti’ (5/125-126, cetakan Darul Atsar), HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa`i), HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 99 dan Al-Irwa` no. 1791), Majmu’ Fatawa (23/186-187, 214-215) dan rujukan islami lain.
Bagikan
Mari cerdaskan umat dan meraih ridha Allah s.w.t dengan berbagi halaman islami ini di facebook.
Anda pembaca ke: 1767
« Back